Pemimpin Idola, Pemimpin Saleh (1)
Oleh : Mabrurrosi, S.Pd.I., Mahasiswa Pascasarjana Prodi Pendidikan Bahasa Arab UIN Maulana Malik Ibarahim Malang.
TAHUKAH kamu siapa pemimpin itu? Darimana? Figur idola yang baik seperti apa? Untuk menjawab pertanyaan di atas, mudah sekali. Ya, jika hanya untuk menjawab saja maka tidak akan terasa sulit. Lihat saja hasil debat calon pemimpin, mulai dari pemimpin tingkat bawah sampai tingkat atas semuanya rata-rata bisa menjawab pertanyaan tersebut dengan mudah dan benar. Sama sekali dari jawaban mereka tidak ada kekakuan, keraguan, dan kebingungan. Semuanya menjawab dengan lancar dan diiringi dengan tepukan tangan meriah para hadirin yang menyaksikan.
Namun, tahukah kamu siapa pemimpin idola itu yang sebenarnya? Dalam pemilihan dan pencalonan pemimpin tertentu, seorang calon pasti idola bagi pendukungnya. Kata-katanya memantapkan hati, visi-misinya sehebat wahyu Nabi, bahkan tindakan dan cara hidup (berpakain dan bersikap) mejadi uswatun wajibah (panutan wajib) bagi para pendukungnya. Semua hal yang datang darinya benar, sedangkan semua hal yang benar pun jika datang dari calon yang lain (lawan) pasti salah dan disalahkan. Ini namanya pendukung fanatis.
Pemimpin idola yang sesungguhnya di zaman sekarang ini sulit kita temukan. Walaupun secara kuantitas banyak yang mengakuinya terutama di forum debat pencalonan. Namun, secara kualitas yang ada kesesuain antara ucapan (janji) dan realisasinya sedikit yang mengamalkan. Pemimpin idola ialah pemimpin yang menerapkan sinkronisasi antara perkataan dan perbuatan. Kata-kata semanis apapun sama sekali tidak ada gunanya jika tidak membuahkan hasil kebaikan.
Secara historis, pemimpin sekarang adalah pengganti daripada pemimpin-pemimpin sebelumnya. Sebagai pengganti minimal memiliki kualitas yang sama dengan mereka. Tidak hanya itu, ia juga berada di jalur yang sama, loyalitas yang sama, dan keistiqamahan yang sama dalam tanggungjawabnya. Itulah pemimpin yang baik. Bisakah calon berkutnya seperti itu? Jawabannya, ya pasti bisa. Caranya mudah, jadilah pemimpin yang saleh .
Calon pemimpin sebenarnya tidak harus banyak mengumbar visi-misi. Yang paling penting, utama dan pertama-tama seharusnya memasukkan ‘menjadi pemimpin saleh’ diantara deretan visi-misinya. Itu sangat beralasan. Seorang pemimpin yang saleh pasti juga akan membawa kesalehan dalan setiap tindakan, kebijakan, keputusan, dan perbuatannya. Kita masih ingat sebuah motto Nahdlatul Ulama ; “almuhafazhatu ‘ala al-qadimi al-shaleh wa al-akhdzu bi al-jadidi al-alshlah”. Melestarikan tradisi lama yang saleh (baik di hadapan Allah dan dimata manusia), serta mengambil (inovasi) baru yang lebih baik.
Petuah di atas tidak hanya sebatas petuah saja, namun memiliki makna yang mendalam dan perlu diperhatikan dengan baik. Pemimpin yang baik dan diidolakan kuncinya hanya satu, saleh. Menjadi pemimpin yang saleh berarti menjadi pemimpin yang siap menegakkan hak-hak Allah swt dan sangat pro rakyat yang dipimpinnya. Al-qaim fi huquqillah wa huquqi ‘ibadihi. Pemimpin yang baik selalu berusaha mengutamakan hak Allah swt sehingga semua kebijakan dan keputusannya tidak pernah bertentangan dengan syariah. Pemimpin yang baik juga tidak egois. Ia selalu mengedepankan hajat orang banyak dan berusaha memenuhinya sesuai dengan ketentuan dan konstitusi yang berlaku. Itulah figur pemimpin baik yang seharusnya kita idolakan.
Apakah pemimpin itu lahir sendiri? Untuk menjawab pertanyaan ini sekali lagi kita kembali ke sejarah. Jika kita melihat pada sejarah, Nabi muhammad saw diangkat langsung oleh Allah swt menjadi pemimpin umat Islam. Bahkan tidak hanya itu, beliau merupakan pimpinan para nabi dan rasul sebelumnya. Dan setelah beliau wafat, otoritas pengangkatan pemimpin umat Islam berada di tangan umatnya. Kita lihat seorang khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang diangkat menjadi pemimpin melalui ‘baiat’ atau pengangkatan langsung oleh umat setelah melalui proses musyawarah yang sangat ketat. Ya, beliau diangkat langsung karena memiliki kualitas dan kuantitas yang layak. Dalam bahasa kita beliau memiliki kredibilitas yang baik untuk menjadi seorang pemimpin. Ini benar-benar praktek demokrasi. Tidak seorang pun yang bersuara membaiat atas nama kolusi, melainkan atas dorongan hati nurani.
Hal di atas kurang berlaku di zaman modern sekarang. Seorang pemimpin tidak lagi dipilih dan dicalonkan oleh rakyat sendiri. Hal itu berlaku mayoritas, dan sedikit yang mengemban amanah atas dasar kesepakatan umum. Untuk jadi pemimpin maka seorang calon berangkat sendiri. Atas inisiatif sendiri, memakai dana sendiri, dan segala konskwensi ditanggung sendiri. Kemudian dengan nebeng pada partai tertentu-yang mungkin hanya jadi batu lompatan keabsahan pencalonan saja-majulah dia di panggung kursi kepemimpinan. Walhasil, ia pun tidak tahu arah dan hanya jadi bulan-bulanan. Itu namanya calon pemimpin yang tidak tahu diri.
Kembali kepada pemimpin idaman yang saleh. Karena ia seorang pemimpin yang saleh maka tentulah ia saleh dalam setip perkataan dan tindakannya. Pemimpin yang saleh senantiasa menjaga hak-hak Allah swt dan menjadikannya yang paling utama. Nah, dengan demikian kita bisa membedakan antara pemimpin yang saleh diidolakan dan pemimpin yang kurang saleh atau tidak saleh. Selamat berjuang pemimpin saleh …! []
BERSAMBUNG
sumber : islampos.com
Pemimpin Idola, Pemimpin Saleh (1)
Reviewed by henry
on
17.38
Rating:
Tidak ada komentar: